Dark End Park Ch. 1

Sabtu, 23 Juli 2011
‘Selamat datang di Dark End Park,’

‘Tempat di mana tinggal para Shaman yang akan menghibur kalian di taman ria ini!’

‘Ups, tapi hanya anak-anak tertentu yang boleh masuk ke taman spesial ini.’

‘Itu adalah kalian yang mendapat undangan khusus yang kuantarkan sendiri untuk kalian, undangan yang diperuntukkan bagi anak-anak kecil yang sudah berhati busuk.’

Which mean....’

‘Itu adalah undangan terakhir untuk anak-anak yang tak pantas hidup seperti kalian.’

‘Kalian siapa? Haha, tentu saja itu kalian yang sekarang berdiri di sini!’

‘Nah.... Mana pertunjukan yang kalian pilih untuk kematian kalian?’

‘Dibakar oleh api abadi milik The Flamer?’

‘Dibekukan oleh duri-duri es milik The Freezer?’

‘Disayat dan dipenggal oleh tombak The Slasher?’

‘Diikat dengan senar tajam dan ditusuk dengan pendulumn oleh The Roper?’

‘Dicakar dan dikuliti oleh kuku-kuku tajam The Clawer?’

‘Diracuni oleh bisa mematikan milik The Serpenter?’

‘Dibedah dan dijadikan kelinci percobaan oleh The Injurer?’

‘Ayo, pilihlah salah satu. Akan kupastikan bahwa kalian para undanganku akan mati dengan teriakan histeris yang takkan terlupakan seumur hidup kalian.’

‘...Bila nanti bertemu denganku, The Invitor, jangan lupa...’

‘Ucapkan selamat datang di taman hiburan abadi buatan kami!’

________________________________________________________________________

Dark End Park

By Kurii-chan
Inazuma Eleven © Level-5
Shaman King © Hiroyuki Takei
Rated: T
Genre: Horror, Mystery, Tragedy, Friendship
Featured: Crossover, Gore fic, Alternate Universe

Chapter 1
Bloody White Rabbit


Shuuya’s POV

Namaku Goenji Shuuya, seorang anak berusia 14 tahun yang hidup di area Inazuma Town. Sekarang aku ada di halaman rumah sakit, tempat di mana salah seorang yang berharga bagiku sedang dirawat di tempat ini.

Kakiku melangkah hati-hati, sementara kepalaku menoleh kanan dan kiri untuk mencari keberadaan anak itu. Tak ada tanda-tanda keberadaannya memang, namun aku yakin bahwa ia pasti ada di sini. Hanya saja sepertinya saat ini ia sedang ingin bermain petak umpet denganku.

“Onii-chan!” Hampir saja aku terjatuh ketika tubuhku terdorong berkat adanya gaya yang ditimbulkan oleh sosok mungil yang sedang memeluk pinggangku dari belakang. Segera kuseimbangkan tubuhku, lalu menoleh ke arah belakang untuk mendapati orang yang kucari sedang tertawa manis.

Dia, Goenji Yuuka. Adik perempuanku satu-satunya yang berbeda usia empat tahun di bawahku. Seperti yang sudah kubilang, ia kini dirawat di rumah sakit ini. Dan tadinya ia baru saja kabur dari kamar tempat ia ‘tinggal’. Yah sudahlah, toh aku sudah menemukannya dan ia memang sudah biasa keluar dari rumah sakit secara diam-diam seperti ini.

“Yuuka, ayo kembali ke kamarmu. Suster sedang mencarimu.” ajakku seraya menggenggam tangan mungil adikku. Yang kuajak langsung memasang wajah cemberut. Oh, lagi-lagi begini.

”Tapi aku ingin main di luar! Bosan rasanya bila setiap hari aku harus terus diam di rumah sakit. Ayolah nii-chan, biarkan aku main sebentaaaar saja!” rengek Yuuka sembari menarik-narik bajuku. Aku menghela napas panjang. Tentu saja harusnya aku tak bisa mengijinkannya. Bukan aku, tapi penyakit yang ia derita. Penyakit itu takkan mengijinkannya untuk banyak bergerak.

“Baiklah, tapi hari ini saja ya?” Dan akhirnya aku menghabiskan waktuku untuk menemaninya bermain.

Tralala... Pembatas cerita

‘PLAK!’ Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Aku hanya membisu, tertunduk karena tak ingin melihat matanya yang sedang marah saat ini. Ah, aku tahu bahwa ini memang salahku. Tapi...

“Gara-gara kau membiarkannya keluar, penyakit Yuuka jadi kambuh kembali!” Aku terus diam, mendengar cacian yang keluar dari bibir ayahku sendiri. Hei, itu bukan salahku bila Yuuka menderita kanker paru-paru atau apapun itu. Lalu kenapa kau menyalahkanku? Padahal ini semua gara-gara Yuuka. Gara-gara dia...

“Sudahlah, suamiku...!” Ibuku melerai kami dengan cara memegangi lengan ayahku. Pria paruh baya itu menghela napas singkat, lalu kembali menatap tajam padaku.

“Harusnya kau tak usah lahir saja di dunia ini.” ucap ayahku dengan nada bicara dingin. Sepersekian detik setelah itu, aku berlari meninggalkan gedung rumah sakit, menghiraukan teriakan ibuku yang memanggil-manggil namaku.

Persetan dengan semua itu. Aku bahkan tak pernah menyayangi keluargaku.

Kenapa?

Tentu saja karena mereka tak pernah memperlakukan aku layaknya keluarga mereka.

I wonder why....

Tralala... Pembatas cerita

Bel pulang sekolah akhirnya berdenting, menandakan waktu bagi para siswa untuk berteriak girang dan berhambur keluar dari ruang kelas sebagai tanda kebebasan mereka dari pelajaran yang membuat kepala penat.

Aku berjalan keluar dari kelas. Menyusuri lorong sekolah dengan langkah yang terasa melelahkan. Aku harus cepat, karena Yuuka pasti sedang menungguku di rumah sakit saat ini. Harus cepat.... pulang.

Aku menghela napas panjang.

Sampai akhirnya aku tiba di lapangan sekolah. Kutolehkan kepalaku untuk sekedar melihat teman-teman sekelasku yang bermain sepak bola. Ah, lama aku tak memainkan olah raga yang dulunya menjadi favoritku itu. Kini aku tak bisa bermain dengan bebas seperti dulu lagi. Ini karena aku harus menemani Yuuka tiap harinya. Terperangkap dalam jeruji rumah sakit meski aku bukanlah seorang yang menderita penyakit.

Menyebalkan. Kenapa juga aku harus ikut menderita gara-gara penyakit Yuuka?

“Hoi, Goenjiii!!” Aku menolehkan kepalaku ke lapangan saat ada yang memanggil namaku. Terlihat sosok anak berambut coklat yang melambaikan tangannya padaku, lalu berlari menyongsong ke arahku sambil memeluk bola di tangan kirinya.

Aku menatapnya datar, singkat sebelum akhirnya aku bertanya, “Ada apa?”

Bocah berambut tanduk itu tersenyum lebar sambil menyodorkan bolanya ke hadapanku.

Sokka, yarou ze!”

Persetan dengan ajakan itu. Mau ‘sokka yarou ze’ ataupun ‘suka mbambung yeah’ aku tak akan ikut. Kau pikir aku punya waktu untuk bermain sepak bola meski aku ingin? Meski aku ingin...

Aku ingin bermain sepak bola lagi.

Dan anak aneh ini membuatku mengingat emosi tak berguna itu lagi. Sigh, sepertinya ia memang sangat menyebalkan.

“...Aku mau pulang.” Aku mendorongnya, membuat temannya yang berambut biru itu mendelik tajam ke arahku dari lapangan sana. Aku tidak peduli, mau si tanduk ini oleng atau jatuh terjerembab saja sekalian. Aku sama sekali tak peduli.

Kali ini aku benar-benar berjalan keluar dari area sekolah. Meninggalkan si bodah tanduk itu dengan lapangan sepak bolanya. Sedikit banyak aku menyesal, apa harusnya tadi aku menerima ajakannya saja ya?

Bodoh, mana bisa.

Aku ingin bebas dari jeratan kehidupanku ini. Aku tak ingin dicaci-maki oleh ayahku, tak ingin mengabaikan teman-temanku, tak ingin terus terbelenggu untuk menemani adikku itu.

Ah, benar juga. Semuanya berawal dari Yuuka. Ini semua gara-gara dia. Andai saja aku bisa lepas darinya. Pergi ke dunia di mana tidak ada Yuuka...

‘CRING’

Ah, suara bel... Seolah membawaku ke dimensi yang lain dari tempatku berdiri.

End of Shuuya’s POV

Normal POV

Seketika itu juga semuanya berhenti. Orang-orang yang berjalan tiada bergerak. Daun yang harusnya terbang terbawa angin melayang di udara tanpa ada gerakan. Burung-burung yang harusnya terbang mengepakkan sayapnya kini mematung di antara awan sana.

Semuanya diam.

Shuuya mencoba menyusuri kota untuk mengamati sekitar, sampai akhirnya ia menemukan sebuah sosok yang bisa bergerak di antara kebisuan mutlak itu. Tanpa pikir panjang Shuuya segera mengejar sosok itu.

‘Hihihi...’

Yang dikejar ikut berlari menghindar sambil tertawa kecil. Makin lama Shuuya makin dibuat penasaran oleh sosok aneh itu. Terus saja ia mengejar tanpa menyadari bahwa ia telah tiba di taman kota Inazuma.

“Di mana anak itu?” Shuuya terus menajamkan pandangannya, mencari sosok misterius yang dari tadi menghindar darinya.

Congratulation!’

Shuuya membalik badannya untuk mendapati sosok berambut coklat kehitaman yang sedang duduk di bangku taman. Sejak kapan ia ada di sana? Bukankah tadi Shuuya tak melihat sosoknya saat melewati bangku itu? Atau jangan-jangan, dia...

Congratulation,’ ulangnya sekali lagi. Kemudian sosok misterius itu melanjutkan ucapannya...

‘Kau berhasil menemukanku. Sebagai gantinya, kuberikan sedikit hadiah spesial untukmu.’ Sosok misterius yang mengenakan headphone di telinganya itu menyodorkan sebuah tiket kepada Shuuya. Tiket polos tanpa adanya gambar ataupun tulisan apapun, hanya ada warna merah yang melapisi tiket itu. Merah darah.

Shuuya menatap tiket aneh itu, lalu beralih pada sang sosok misterius yang tersenyum ramah padanya. Terus bergantian selama beberapa detik. Shuuya merasa was was dan takut, mencurigai adanya aura jahat pada tiket merah itu. Namun rasa panik itu mulai memudar ketika ia melihat senyuman sang pengajak. Terus... Tatapan polos itu nyatanya seolah menghipnotis Shuuya. Ah, bukan hanya dia saja...

Pasti sudah tak terhitung lagi,
Korban-korban yang jatuh dan kehilangan akal dan nalarnya,
Ketika....
Kau mengundang mereka untuk pertunjukan eksekusi di Dark End Park.
Nee, Mr. Invitor?

Dan ketika tangan itu menyentuh sebuah tiket merah tanda kutukan akan dirinya, hilanglah kesadaran jiwa itu. Beralih dengan napsu dan kekejian yang tersembunyi di balik hati rapuh itu. Mulai menyeruak...

Tralala... Pembatas cerita

Sang gadis kecil dengan rambut yang dikepang dua menatap jendela kamar ruang rawatnya dengan ekspresi cemas. Awan di langit sana terlihat mendung, sementara kakaknya masih belum datang ke tempat ini.

“Kenapa Onii-chan belum datang juga? Aku takut...” Gadis kecil yang kita ketahui bernama Yuuka itu meringkuk di balik selimutnya, berusaha mengatasi rasa takutnya akan sebuah firasat buruk.

Firasat buruk...

Entah mengapa, ia merasa bahwa setelah ini akan ada hal mengerikan yang terjadi.

‘BRAKK!’ Pintu kamar itu dibuka dengan kasarnya. Membuat Yuuka terlonjak keluar saking kagetnya. Namun begitu ia mendapati sosok familiar yang ada di ambang pintu, senyumnya merekah.

“Onii-chan?”

Yang kemudian bibirnya mulai beringsut, seiring dengan rasa takut yang menjalar di seluruh tubuhnya.

“Ini semua gara-gara kau!” Entah kerasukan setan apa, Shuuya meremas bahu adik kecilnya dengan kasar. Kemudian menampar pipi Yuuka, memukulnya, dan melayangkan berbagai macam barang pada sosok gadis yang terpaku ketakutan di hadapannya.

“Gara-gara kau, aku tak punya lagi kebebasan! Ayah membenciku! Aku tak bsia bermain sepak bola lagi! Kenapa kau harus sakit? Kenapa kau harus lahir ke dunia ini? KENAPA!” Shuuya terus berteriak kesetanan sambil mengacak-acak isi kamar rawat Yuuka. Sang adik membelalakkan mata, terlalu shock atas segala ucapan dan tindakan kakaknya yang biasanya selalu berbuat baik di hadapannya.

“Jadi.... selama ini Onii-chan sangat membenciku?” tanya sang gadis polos yang mulai terisak atas pemandangan galau yang terlihat di depan matanya.

“Yuuka...” Shuuya yang mulanya asyik merobek korden ruangan kini berpaling, menuju pada adik kecilnya ketika mendengar pertanyaan itu. Ia tersenyum sambil membelai kepala adiknya, lembut.

...Sampai akhirnya ia kembali tertawa bagai iblis.

“Yang benar saja! Tentu saja aku SANGAT membencimu! Aku bahkan berharap kau akan segera mati dimakan penyakit sialmu itu!, supaya kau tak mengganggu hidupku lagi! SELAMANYA!” Shuuya membentak Yuuka dengan ekspresi yang menyeramkan, kemudian tertawa lantang setelah kalimatnya berakhir. Ia menarik kasar rambut Yuuka, membuat rambut coklat sang adik berantakan. Yuuka menangis keras, namun Shuuya tak memberi belas kasihan sedikit pun dan malah mencekik kasar adiknya.

Yuuka mencoba meronta sebisanya. Namun jelas ia tak mampu untuk lepas dari cekikan kakak laki-lakinya. Sekilas ia melihat wajah kakanya. Ia merinding takut, Shuuya yang saat ini seolah bukanlah kakaknya yang biasanya. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?

‘Tak ada apapun yang terjadi. Karena itu memang dirinya yang sebenarnya. Hihihi...’

“Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. MATI—“ Cekikan itu langsung terlepas dengan kasarnya ketika tangan Shuuya ditarik oleh sebuah tangan milik orang lain. Si rambut putih menoleh ke belakang, nyaris memaki si pemilik tangan yang ternyata....

“...Ayah?” Mata Shuuya terbelalak lebar. Terjadi keheningan statis yang menegangkan selama 3 detik. Kemudian ibu Shuuya menerobos masuk dan berlari menghampiri Yuuka yang nyaris mati tercekik.

‘PLAK!’ Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Shuuya. Ayahnya, ayah Shuuya menampar si anak sulung dengan wajah yang minim ekspresi.

“DASAR ANAK KURANG AJAR!” Kemudian sang ayah mendorong tubuh Shuuya hingga terlentang di lantai, lalu menendang dan menginjak Shuuya dengan sadis. Yang bermata onyx melirik ke arah ibunya berusaha meminta pertolongan. Namun nyatanya sang ibu sama sekali tak menghiraukannya. Ia terlalu sibuk untuk mengurusi Yuuka, yang ternyata gadis kecil itu masihlah dalam keadaan sadar meski napasnya nyaris terpotong selamanya.

“Kalian semua... sama saja...” Bocah berambut putih tulang itu mencoba untuk bangkit dari jatuhnya, kemudian berlari meninggalkan seluruh anggota keluarganya. Paras kebencian tercetak jelas di wajahnya.

“Onii-chan....!” Dan Yuuka segera ikut berlari menyusul kakaknya, menghiraukan kondisi tubuhnya yang melemah.

“YUUKA!” Sang ibu berusaha menggapai kedua anaknya, yang akhirnya hanya berakhir dengan menggapai angin semata.

Tralala... Pembatas cerita

Shuuya terus berlari dan berlari. Hatinya kalut, ia berlari tanpa menghiraukan keadaan sekitarnya sedikit pun. Hingga ia tak menyadari adanya keanehan pada tempat ia berlari. Kian lama, pemandangan kota tempat ia berlari menjadi makin gelap.

Gelap...

“......?” Shuuya berhenti berlari ketika menyadari bahwa sekelilingnya telah gelap total. Hitam, tak ada benda apapun kecuali...

Sebuah taman hiburan besar dengan hiasan lampu yang berkelip-kelip, tepat di hadapan Shuuya.

“Wah, wah... Selamat datang.” Shuuya dibuat terkejut oleh adanya sosok om-om berkostum layaknya samurai yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

“Eh...?” Shuuya hanya melongo sambil berpikira aneh tentang orang yang ia anggap sedang ber-cosplay layaknya samurai gaje ini.

“Kau tamu undangan di taman ini kan?” ujar sang pria paruh baya sembari menunjuk sebuah benda yang menyembul di balik saku celana Shuuya.

“Oh, ini...” Shuuya mengambil benda yang ternyata adalah sebuah tiket yang tadi ia terima dari si bocah misterius. Kemudian sang pria berambut panjang itu megambil tiket merah dari tangan Shuuya.

“Selamat datang di Dark End Park, selamat bersenang-senang!” Sang samurai mendorong pelan punggung Shuuya untuk masuk ke taman ria tersebut.

‘Kerja bagus, Amidamaru.’

Shuuya terkesima kepada pemandangan yang ia dapati di dalam taman ria ini. Suasananya ramai, banyak senyuman yang terpampang di wajah-wajah yang berlalu-lalang. Banyak permainan dan atraksi yang meriah. Baru kali ini Shuuya melihat taman ria seajaib ini. Orang yang berlalu-lalang semua memakai kostum yang unik.

“Hei, kau baru pertama kali datang ya?” sapa seorang pemuda manis, dengan rambut hijau dan mata berwarna emerald. Di punggungnya ada atribut cosplay berupa sayap peri.

Shuuya menoleh dan menatap pada sosok yang ia nilai sebagai pribadi yang SKSD itu. Yang berambut hijau tetap tersenyum ramah meski Shuuya menatapnya dengan tatapan sinis.

“Kenapa tidak pergi ke Dark End Circus saja?”

“Dark End Circus...?”

“Di sana.” Anak manis itu menunjuk pada sebuah dome yang menonjol tepat di tengah taman ria ini. Shuuya mengikuti arah jari telunjuk itu, menyaksikan sebuah kubah berwarna hitam. Entah apa yang ada di dalamnya. Dan itu membuat Shuuya penasaran.

“Akan ada hal menarik di sana. Nah, sampai jumpa... Goenji Shuuya.”

Si ‘peri’ berjalan menjauh dari Shuuya sambil melempar senyuman lembutnya. Shuuya menganga, bagaimana bisa anak itu tahu namanya?

“Hei, tung...” Sayangnya si pemuda hijau telah menghilang entah kemana. Mungkin ia ada di dome itu?

Shuuya yang penasaran akhirnya menapakkan kaki ke jalan menuju Dark End Circus.

‘Eksekusi... Akan segera dimulai.’

Tralala... Pembatas Cerita

Tibalah Shuuya di depan dome yang bernuansa kelam ini. Tak ada suara yang terdengar di balik sana. Shuuya mengerutkan alisnya. Apa ia telah dibohongi oleh cosplayer peri tadi? Tak ingin berpikir panjang, Shuuya segera memutuskan untuk masuk ke dalam dome.

Dan ia terkejut, lagi. Ternyata tempat ini begitu ramai dan penuh dengan orang-orang di dalamnya. Shuuya tak dapat melihat wajah mereka, rata-rata memakai jubah warna-warni dan memakai topeng. Bagaikan sebuah hall di mana pesta berlangsung.

“Tokoh utama eksekusi kita telah tiba.”

“Selamat datang di acara ekskusi-MU, Goenji Shuuya.”

Mata Shuuya terbelalak lebar ketika ia mendapati sosok familiar yang duduk di sebuah singgahsana, tepat si seberang tempat Shuuya berdiri. Di sisi-sisinya, terdapat tujuh orang yang berdiri

“Nah, ayo kita mulai eksekusinya...” Seiring dengan ucapan yang dilontarkan ‘The Invitor’, para penonton mulai bersorak degan riuh rendahnya. Mereka mulai berteriak gila dan melemparkan jubah dan topeng mereka, yang mana pemandangan di baliknya membuat Shuuya terbelalak ngeri.

Mustahil. Orang-orang yang tadinya Shuuya sebut sebagai cosplayer ini telah berbadan tidak utuh lagi. Banyak yang dagingnya terkikis di sana-sini. Ada sebagian yang hanya tinggal tulang. Banyak pula yang tubuhnya dipenuhi luka bakar dan nanah. Beberapa memiliki banyak jahitan di sekujur tubuh. Dan tidak sedikit yang kehilangan organ tubuh mereka, seperti mata atau jari-jari tangan. Tak lupa dengan tambahan beberapa orang yang perut dan dadanya berlubang, di mana organ tubuh mereka langsung berhamburan kesana kemari ketika jubah itu terhempas.

Shuuya merasa mual seketika. Sisa tenaganya ia gunakan untuk kabur dari tempat mengerikan ini, namun gerakan itu terhenti ketika sebuah senar tipis mengikat erat tangannya.

“Kau tidak akan bisa lari.” Shuuya kembali terkejut ketika ia membalikkan tubuhnya. Dari atas sana bicaralah sosok yang sedang menjerat Shuuya. Rambut hijau dengan mata emerald, bukankah itu pemuda manis yang tadi?

“Hei, aku mulai muak. Lebih baik kita segera membunuhnya saja.” Ucapan salah seorang dari mereka membuat Shuuya berkeringat dingin.

“Sabarlah sedikit, Ren. Kita akan mulai eksekusinya...” ucap sang Invitor sambil tersenyum. Yang tadinya menggerutu langsung terdiam, patuh pada orang yang sedang angkat bicara itu.

‘Ctik!’ Satu jentikan jari dan beberapa dari mayat hidup itu turun, mendekati Shuuya. Sang bawang putih berteriak ngeri, namun tiada yang menggubris teriakan itu. Makhluk-makhluk itu langsung membawa Shuuya ke depan dan mendudukkanya di sebuah kursi yang berdiri tepat di tengah dome. Sang pria bawang itu berontak, namun ia tak kunjung bisa berdiri dari kursi itu meski tak ada tali atau rantai apapun yang mengikatnya.

“Goenji Shuuya, kau telah berbuat jahat pada adikmu. Menyimpan sebuah dusta besar dalam hatimu dan membiarkan jiwamu terkotori oleh pemikiran jahatmu. Kau hidup dengan menimpalkan kesalahanmu pada orang lain. Kau egois, dan...”

“DIAM!” Shuuya langsung meneriaki ‘The Invitor’ yang tengah membacakan ‘Mistake Scroll’ Shuuya, membuat sosok berambut panjang yang similar dengan sang penghuni singgahsana langsung terbakar emosi.

“Beraninya kau berteriak pada raja kami!” Kobaran api langsung menjilat di antara kaki Shuuya. Membuat pemuda itu mengeluarkan keringat karena rasa panas yang mulai menjalar ke tubuhnya.

“Hao, hentikan.”

“Tapi Yoh, dia sudah merendahkanmu!” teriak sang figur bernama ‘Hao’ sambil mengeluarkan ekspresi marah. Sisa enam orang di luar saudara kembar itu hanya membisu. Merasakan aura berbahaya yang baru dikeluarkan ‘The Flamer’.

“Hhh, tidak biasanya kau jadi mudah marah.” Sang Invitor a.k.a Yoh itu tertawa renyah, melupakan sang mangsa yang masih terikat di kursi kematian.

“Baiklah... Horo-Horo, lakukan eksekusinya.” Perintah sang pemilik singgahsana sambil tersenyum dengan santainya.

“Eh, aku? Baiklah...” Sosok berambut biru yang berdiri di samping kiri Yoh menunjuk dirinya dengan ekspresi cengo, sebelum akhirnya melompat turun dari areanya. Berjalan perlahan menuju Shuuya. Ia menyeringai ketika melihat mangsanya yang gemetar ketakutan.

“Hei, kau tahu... Kau akan segera MATI!”

Seketika itu juga Shuuya merasakan lengan kirinya yang terbungkus oleh es. Mati rasa sudah lengan itu. Shuuya terbelalak panik saat melihat es yang melapisi lengannya.

“Ini hukuman untuk tangan yang telah menyakiti adiknya sendiri.”

Kemudian Shuuya merasakan adanya sebuah tekanan dari es itu. Beberapa seolah menusuk dalam dan bersarang di tulang lengan Shuuya. Dinginnya es itu membuat bunyi remuk yang bersuara dari lengan itu.

“AAAARGHH!” Shuuya berteriak sejadinya keika merasakan sakit luar biasa di sebelah lengannya. Horo-Horo tersenyum puas, sementara yang lain menikmati acara ini. Terkecuali seorang bocah tongari mungil yang kelihatannya sudah tak sabar.

“Lalu... yang ini hukuman untuk kaki yang telah melarikan diri dari kenyataan.” Dari bawah kaki Shuuya muncul ribuan duri es ramping yang panjang, menusuk dan menggores kaki-kaki itu.

Shuuya kembali berteriak kesakitan.

“Arrgh! Serangan seperti itu tak kan berdampak besar! Kenapa ia tak langsung membunuh anak itu saja?” omel sang bocah tongari yang sudah siap dengan kwan dao-nya.

“Bersabarlah sedikit!” tambah seorang makhluk kribo(?) yang berdiri di samping si penggerutu bernama Ren.

“Mana bisa!”

“Makan busa?” Keluarlah, sebuah plesetan kata yang sama sekali tidak lucu.

‘Twich!’ Dahi Ren langsung berkedut, seiring dengan tongari yang memanjang. Tanda bahwa ia mulai marah.

“SHUT UP! Kalian berdua membuatku tak sabar!” Dan Ren langsung melompat turun, menerjang ke arah mangsa sambil mengayunkan kwan dao-nya.

“MINGGIR!” teriak sang bocah tongari yang juga dijuluki sebagai ‘The Slasher’, membuat sang pengguna es menghindar ke samping sebagai gerakan refleks.

“Tunggu dulu!” Tak sempat, tombak itu sudah teracung tepat di dada Shuuya, dan begitu Ren mendarat tombak itu akan menusuk dalam di tubuh yang terikat itu. Mata Shuuya terbelalak lebar, tiap detik dari kejadian itu seolah berlangsung lambat di pengelihatannya.

‘Ah, aku akan mati...’

“ONII-CHAN!”

‘Jlebb!’

Kwan dao itu dengan suksesnya menusuk jauh di dalam perut, mengakibatkan darah segar yang mengalir keluar dari luka tusukan. Semua mata terbelalak. Para undangan terkejut, bahkan sang raja yang duduk di singgahsananya membelalakkan mata atas peristiwa yang tak terprediksi ini.

Mata Shuuya terbelalak lebar. Bukan karena rasa sakit, tapi karena pemandangan yang terpampang di depan matanya.

Kwan dao itu dengan suksesnya menusuk jauh di dalam perut, namun bukan di perut Shuuya.

Melainkan menusuk dalam di tubuh seorang gadis kecil bernama Yuuka Goenji.

Gadis itu mati seketika. Tubuhnya yang bersimbah darah jatuh tak berdaya, seiring dengan tombak yang tertarik keluar dari tubuhnya. Shuuya membelalakkan mata, tak percaya pada kenyataan yang ia lihat di depan mata.

“Yuu... ka...?”

Pandangan Shuuya mulai mengabur. Hanya teriakan panik dari para tamu yang dapat ia dengar.

‘Tidak mungkin, tidak mungkin!’

‘Member Dark End Park mengeksekusi jiwa yang tidak bersalah!’

‘Lihat, ia mati! Aku tak mau mayat berjiwa suci itu jadi bagian dari kita!’

‘Tidaaak!’

Mayat-mayat hidup itu terus saja mengoceh tak karuan. Sementara para eksekutor menunjukkan tatapan tak percaya pada apa yang baru terjadi di bawah sana.

“Bagaimana bisa...?” Sang bocah hijau menutup mulutnya, terlalu shock atas peristiwa yang ia saksikan.

“Kenapa anak tak dikenal itu bisa datang ke sini?” Sosok berambut aneh yang semenjak tadi diam kini angkat bicara.

“...Eksekusi akan segera berakhir. Lebih baik kalian bawa mayat baru itu dan segera tinggalkan tempat ini, sebelum dimensinya lenyap...” Sang Invitor memandang datar pada seluruh ‘rakyat’nya. Seluruh makhluk yang ada di sana berbondong-bondong meninggalkan dome hitam ini. Diikuti oleh para eksekutor yang beranjak pergi.

“Ren, kita harus pergi!” Horo-Horo membawa mayat gadis cilik bernama Yuuka itu sambil mencoba bicara pada Ren.

Mata kuning itu terbelalak lebar, dengan tubuh yang gemetaran ia memandang pada kedua telapak tangannya.

“Aku... membunuh orang yang tidak bersalah...” Ekspresi takut terlihat jelas menghiasi wajah bocah tongari itu.

“Bukan saatnya untuk memikirkan itu!” Horo-Horo menarik tangan Ren untuk menjauh pergi, sebelum akhirnya Dark End Park mulai menghilang, luntur bersama bayangan di sudut kota yang kelam. Tak ada tanda-tanda dari taman sesat itu sedkit pun. Semuanya kembali menjadi kota biasa, di mana setetes darah pun tiada berbekas di jalanan gelap ini.

“Yuuka....”

Dan Shuuya akhirnya tumbang di tengah jalanan sepi kota Inazuma.

Tralala... Pembatas Cerita

“Untuk pertama kalinya kesalahan seperti ini sampai terjadi...” Yoh memegang dagunya sembari berpikir, “Bagaimana bisa anak perempuan itu masuk ke dimensi kita?”

“Bukan itu masalahnya! Sekarang ini kita membunuh orang yang tidak berdosa! Tentu saja ini menodai nama kita!” ujar sang pria berambut aneh yang belakangan diketahui bernama Ryu.

“Dan kurasa ini semua akibat dari ulah si tongari sial di sana.” Hao berucap dingan, sembari menatap sinis ke arah Ren.

“Aku tidak menyadari bahwa gadis itu menghalangi targetnya! Kalian sendiri juga terkejut atas keberadaan gadis itu kan?” protes Ren, tentu saja ia tak mau disalahkan begitu saja.

“Tapi ini semua salahmu. Bisa-bisanya kau menginterupsi acara eksekusi. Apalagi kau melakukannya pada ‘pengikat kontrak’mu.” Sang pemuda hijau angkat bicara dengan ekspresi dingin.

“Lyserg.” Pemuda hijau itu langsung terdiam ketika mendengar teguran Yoh.

“....Ini semua bukan salahku! Ini salah Horo-Horo yang mengulur-ulur waktu!”

“Hei! Bisa-bisanya kau menyalahkanku! Bukankah tiap member memiliki cara sendiri dalam melakukan eksekusi? Kau itu yang lancang! Seenaknya mengganggu acaraku. Apalagi kau itu hanya ‘penerima kontrak’! Asal kau tahu, kau tak kan bisa ada di sini kalau aku tak menyelamatkanm waktu itu!”

Semuanya terdiam. Bahkan Horo-Horo pun merasa bahwa ucapannya ini sudah keterlaluan. Ia menatap lawan bicaranya yang tertunduk dalam, merasa bersalah.

“Uh, Ren... Aku—“

“Maafkan aku.” Sang bocah tongari menunduk dalam, menyisaakan rasa keterkejutan besar di wajah seluruh anggota DEP. Kemudian bocah itu melangkahkan kakinya, keluar dari debat penuh argumentasi yang terkesan memojokkan dirinya itu.

“Ren...” Horo-Horo menghela napas panjang. Ia merasa tak enak karena telah berkata jahat pada bocah yang sebenarnya masih anak-anak yang polos itu.

“Tidak mengejarnya, ‘Horo-niichan’?” ucap Yoh dengan senyumannya.

“Kakak yang baik harusnya tak berkata seperti itu pada adiknya.” Seorang bertubuh jangkung dengan rambut pirang bernama Faust ikut tersenyum sambil menasehati Horo-Horo.

“Lagipula mereka bukan saudara kandung.” Hao melipat lengannya di depan dada sambil mendengus kesal, “Aku tak suka melihat sifatnya yang selfish itu. Apalagi dia hanya anggota yang terikat kontrak semata.”

“Aku juga tak mengerti, kenapa kau mau mengikat kontrak dengan orang seperti dia?” tanya Lyserg. Si pemuda berambut afro langsung membalas ucapannya.

“Kau yang juga berposisi sebagai member penerima kontrak tak pantas berkata seperti itu.” Sindirnya.

“Sudahlah, Chocolove...” lerai Horo-Horo, mencoba tersenyum meski terlihat getir.

“...Tolong kalian maafkan kesalahan Ren, aku mohon.” Kali ini giliran Horo-Horo yang membuat seluruh member terkejut. Ia melakukan hal yang sama seperti Ren, menunduk dalam sambil memintakan maaf untuk sang bocah tongari. Kemudian beranjak dari tempat dan keluar dari perbincangan yang baginya menyesakkan ini.

“Demi perkedel katak, kenapa dua orang itu bisa bertindak OOC dalam waktu bersamaan begini?” Tiada yang tertawa atas komentar Chocolove. Hening, akhirnya semua beranjak dari tempat itu. Meninggalkan Yoh dan Hao yang masih mendiami tempat sunyi ini.

“Menurutmu, bagaimana masalah kali ini?” tanya Hao, ia melirik Yoh yang mulai mendekati mayat adik Shuuya.

“Yah, anggap angin lalu saja.” jawab Yoh dengan ringannya. What?

“.......” Bahkan Hao sampai speechless melihat sifat easy going adik kembarnya tersebut.

“Lagipula, ini angin ribut yang akan membawa sebuah permainan menarik.” Hao mengangkat alisnya ketika mendengar ucapan Yoh.

“Maksudmu?”

“Goenji Shuuya, kelihatannya ia anak yang menarik. Baru kali ini ada anak yang dapat lolos dari eksekusi kita. Nee, Hao?”

“...Jangan bilang kalau kau ingin mengajaknya bergabung ke DEP.” tebak Hao dengan pandangan penuh menyelidik.

“Yah, bagaimana ya? Lagipula mayat ini juga bukan mainan yang buruk.” jawab Yoh, bukan jawaban tepatnya. Lebih terdengar ambigu dan cenderung untuk mengganti objek yang jadi topik pembicaraan.

Yoh mulai mengambil pedangnya, lalu mengorek luka bekas tusukan yang terukir di mayat Yuuka. Ia membedah kulit itu dan membersihkan tulang dan kulit sang mayat dari organ-organ tubuhnya yang Yoh rasa mengganggu. Hampir semua organnya telah lepas dari syaraf tubuh. Ya, hampir. Jantung dan paru-paru telah pergi dari tempatnya. Hati dan lambung telah tergeletak tak berdaya. Namun satu yang sulit dilepas, usus. Susah untuk mengambil usus yang melekat dalam daging itu tanpa merusaknya, apalagi Yoh memakai pedang saat ini.

“Wah, wah... Sepertinya harus kuambil dengan tangan.” Tanpa rasa jijik sedikitpun, Yoh membenamkan tangannya dalam lubang menganga di perut mayat gadis cilik. Ditariknya usus itu, perlahan. Cukup halus hingga usus itu dapat keluar dari perutnya tanpa ada yang robek sedikit pun. Hao menatap Yoh dengan ekspresi datar. Seolah ia sudah biasa dengan pemandangan menjijikkan itu. Kalau boleh jujur, sebenarnya ia memag sudah terlalu sering melihat yang seperti itu.

“Oke! Setelah ini akan kuisi perutnya dengan kapas dan kujadikan bonekaku!” ucap Yoh sembari tertawa cekikikan. Lagi-lagi Hao memandangnya dengan ekspresi datar.

‘Pasti aku yang nantinya disuruh membereskan sampah-sampah ini...’ batin Hao sembari menatap pada lantai yang dipenuhi sampah, organ-organ tubuh yang tiada diperlukan.

“Hei, Hao...” Tuh kan, pasti Yoh akan menyuruhnya membereskan kekacauan ini.

“Organ-organ itu jangan kau buang, berikan saja pada Faust. Aku yakin itu akan berguna untuk peneitiannya.” Dan Hao setuju pada ucapan adik kembarnya. Senyuman ilfeel terukir di wajah Hao ketika ia membayangkan Faust yang tersenyum psico saat menerima ‘hadiah’ ini.

“Well, tapi pastikan untuk beri tahu rencanamu tentang bocah Goenji Shuuya itu padaku nantinya.” Yoh tersenyum tipis, dengan ekspresi malasnya yang biasa. Hao menghela napas panjang. Ah, sepertinya Yoh tak kan membocorkan hal ini meski pada Hao sekalipun.

Dan Hao beranjak pergi, meninggalkan sang Raja bersama calon boneka barunya.

‘Hei, sepertinya aku menemukan hal baru yang menarik.’
‘Seekor kelinci putih yang unik.’
‘Di mana ialah yang pertama kali lolos dari maut yang mencekik’
‘Tapi apa mungkin ia akan tertarik?’
‘Itu hanya akan terjadi bila dunia ini telah berbalik.’
‘Bagaimana kalau kubuat saja kisah yang cantik?’
‘Yang akan membawanya dalam sebuah tragedi yang pelik?”
‘Aku yakin nantinya ia akan tertarik.’
‘Ya... Datanglah ke dunia hitam kami,’
‘Wahai bocah cilik.’

To be Continued

A/N: Ini fic terbaru saia yang sudah nongol di ffn. Silahkan berkunjung ke frofil ffn saia kalau mau baca lanjutan ficnya dan karya-karya lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar